Wednesday, August 13, 2008

Tingkah Laku Seksual Rusa Jawa (Cervus timorensis) di Penangkaran Rusa Cariu dan Ranca Upas-Propinsi Jawa Barat

I. Tingkah Laku Hewan

Tingkah laku hewan adalah ekspresi suatu hewan yang ditimbulkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya, baik faktor dari dalam maupun dari luar yang berasal dari lingkungannya (Suratmo, 1976). Untuk praktisnya, tingkah laku dapat diartikan sebagai gerak-gerik organisme. Sehingga perilaku merupakan perubahan gerak termasuk perubahan dari bergerak menjadi tidak bergerak sama sekali atau membeku, dan perilaku hewan merupakan gerak-gerik hewan sebagai respon terhadap rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan kondisi lingkungannya (Tinbergen, 1979).

Untuk menentukan tingkah laku hewan, perlu diketahui pola tingkah laku. Sedangkan pola tingkah laku (behaviour patterns) dapat didefinisikan: kumpulan dari bagian-bagian perilaku yang mempunyai sebuah fungsi tertentu. Di alam, hal ini terutama ditentukan oleh faktor keturunan dan lingkungan, tetapi dapat juga dibentuk karena latihan dan belajar. Faktor dari satwa itu sendiri (endogenous factor) yang lebih menentukan tingkah laku hewan. Untuk mengontrol dan mengembangkan tingkah laku hewan, ditentukan oleh kondisi refleks hewan yang disebabkan oleh peranan dari lingkungan atau rangsangan dari luar menentukan. Selanjutnya, hewan tersebut akan mengembangkan sendiri tingkah lakunya (Scott, 1969; Mc Douglas, 1908 dalam Suratmo, 1978; Pavlov dalam Suratmo, 1978).

Sexual behaviour (tingkah laku seksual)

Tingkah laku seksual pada binatang, yang tidak saling memilih pasangannya, akan menguntungkan proses domestikasi suatu jenis, juga akan menguntungkan program pemuliaan yang menggunakan beberapa keturunannya yang terbatas. Jantan ruminansia akan agresif selama musim kawin. Sifat jantan untuk mengawini betina dan keberhasilan terjadinya perkawinan, tergantung pada: a) tingkat agresifitas yang terjadi pada jantan, b) daya tarik yang terjadi di antara jantan dan betina yang sedang berahi, c) tahapan interaksi tingkah laku sebagai hasil dari kesediaan betina untuk kawin (mating) yang ditunjukkan dengan posisi tubuhnya untuk dapat dikawini dan d) reaksi pejantan untuk menaiki betina untuk kopulasi. (Moen, 1973; Alexander et al., 1980). Keeratan hubungan jantan dan betina tersebut merupakan interaksi yang sangat kuat di antara individu-individu pada musim kawin, dibandingkan dengan waktu lainnya pada tahun itu (Moen, 1973). Selanjutnya, frekuensi kopulasi bervariasi, tergantung pada spesies, jenis, rasio jantan dan betina, luas tempat, lama periode istirahat kawin (sexual rest), musim dan rangsangan seksual alami (nature of sexual stimuli). Banyaknya ejakulasi pada sapi dan domba lebih tinggi dibandingkan pada kuda dan babi. Pada beberapa sapi jantan yang diamati ternyata banyaknya kopulasi mencapai 80 kali dalam 24 jam atau 60 kali dalam 6 jam, atau rata-rata kopulasi sebanyak 21 kali sebelum hewan yang diamati kelelahan (Wierzbowski, 1966 dalam Alexanderet al. 1980). Setelah lama tidak kawin, seekor domba pejantan dapat kopulasi lebih dari 50 kali pada hari pertama setelah bertemu dengan domba-domba betina, tetapi frekuensinya menurun dengan tajam pada hari-hari berikutnya. Kambing, kuda dan babi cepat lelah, beristirahat kawin, dan mempunyai frekuensi ejakulasi yang lebih rendah dibandingkan dengan domba dan sapi. Banyaknya kopulasi (perkawinan) yang dilakukan pejantan dengan betina yang sama dan sedang berahi pada perkawinan secara alami lebih rendah kalau sperma pejantan sebelumnya telah diambil untuk AI (Artificial Insemination) bila dibandingkan pejantan tersebut tidak diambil spermanya. Pejantan akan mengawini betina yang sama dan sedang berahi 5 - 10 kali pada sapi, 3 - 6 kali pada domba, 2 - 4 kali pada kuda dan babi (Alexander et al., 1980).
Tingkah laku seksual pada hewan, dipengaruhi oleh faktor genetis, perbedaan sistem syaraf,
jenis kelamin, serta faktor lingkungan. Tingkah laku seksual pada hewan, ditentukan oleh mekanisme endokrin. Hormon yang berpengaruh terhadap tingkah laku seksual adalah hormon steroid. Hormon steroid pada jantan dan betina secara biokimia ada kesamaannya, tetapi ritmik yang dikeluarkan ke dalam aliran darah secara keseluruhannya berbeda. Sekresi androgen tidak permanen. Pada jantan, puncak sekresi hormon yang dikeluarkan dalam waktu 24 jam tidak tetap dan dapat terjadi beberapa kali, walaupun jumlah yang dikeluarkan dalam prakteknya tetap dari hari ke hari, sedangkan fluktuasi musiman kadang-kadang berlangsung cepat dan kadang-kadang lambat. Sedangkan pada betina, estrogen dalam darah hanya terdapat beberapa hari saja selama siklus berahi. Pengambilan hormon gonad dan terapinya pada jantan secara lengkap berbeda dengan pada betina (Alexander et al., 1980)

Salah satu karakterisitik tanda seksual sekunder pada suku Cervidae adalah pertumbuhan dan perkembangan ranggah. Pengrusakan ranting pada semak-semak merupakan petunjuk peningkatan agresifitas sebagai perkembangan kondisi reproduksi. Severinghaus dan Cheatum (1956, dalam Moen, 1973) menyatakan bahwa pada rusa yang dipelihara di laboratorium, pada saat aktifitas seksualnya meningkat, rusa jantan akan menunjukkan agresifitas yang meningkat pula, yaitu dengan merusak pagar, pohon atau benda-benda lainnya. Hal ini juga menjadi tanda bahwa daerah itu sebagai daerah kekuasaan (teritori) jantan tersebut. Pada saat musim kawin sering terjadi perkelahian antar pejantan yang memperebutkan betina yang akan dikawininya.

Musim kawin pada Rusa Jawa ditandai dengan tingkah laku rusa jantan yang selalu meraung-raung (melenguh) dengan suara keras pada waktu tertentu di pagi dan sore hari, bahkan kadang kadang di malam hari. Ciri-ciri lainnya adalah berendam di dalam lumpur, berjalan tegak dengan kepala mendatar, berdiri tegak, sambil mengarahkan mulutnya (flehmen) ke arah betina dewasa yang sedang berahi, kemudian mengikuti jejak betina tersebut dan menciumi bekas urine yang dikeluarkan betina (Departemen Kehutanan RI, 1986; Takandjandji dan Sinaga, 1997). Menurut Jacoeb dan Wiryosuhanto (1994), perkawinan umumnya akan berlangsung pada malam hari, dan kopulasinya relatif cepat dan singkat. Sifat agresif yang ditunjukkan rusa jantan pada musim kawin hanya terjadi di antara kelompok yang mempunyai ranggah tetap (ranggah keras), dan hierarki antar individu yang nampak lebih dominan (Mackay, 1997; Sinclair, 1998). Tidak seperti pada jenis rusa yang berasal dari daerah dingin, jantan Rusa Jawa dan Rusa Maluku tidak berusaha berkumpul dengan betina-betinanya. Di musim kawin, rusa jantan cenderung mempunyai sifat untuk mengumpulkan “harem” (Semiadi, 1998). Hal ini sangat jelas terlihat pada kelompok rusa asal daerah dingin. Pada rusa yang berasal dari daerah tropika, kecenderungan untuk mengumpulkan harem juga ada, tetapi tidak terlalu kuat. Jantan rusa mempunyai sifat perkawinan Poligamus (Polyginy) (Giraldeau, 1998; Semiadi, 1998). Selama musim kawin ini, rusa jantan berkubang dan mengasah ranggahnya pada rumput yang panjang (Sinclair, 1998). Selanjutnya Word (1998) juga menyatakan, jantan yang kawin akan meninggalkan bekas pada wilayah jelajahnya (home range), yaitu berupa adanya gosokan ranggahnya pada batang pohon, atau pepohonan kecil. Selama musim kawin, jantan makan lebih sedikit dan kehilangan berat badan sampai 30%, karena lebih banyak waktunya digunakan untuk mengawini betinanya (Golz, 1993).

calving Pada rusa betina, kesiapan untuk melakukan perkawinan ditandai dengan adanya tanda berahi, yaitu dengan adanya pembengkakan pada labia vulva, mucosa warnanya merah dan keluar eksudat (cairan) bening sampai merah (lendir berahi), serta ekornya sering dinaikkan ke atas dan siap untuk dikawini (Jacoeb dan Wiryosuhanto, 1994). Sebagai suatu perbandingan, pada domba juga memperlihatkan tanda-tanda yang serupa dengan rusa, dengan suatu catatan bahwa pada domba betina, sering diperlihatkan suatu pola yang kurang sempurna pada respon perkawinan dan tidak mencari jantan. Pada suatu penelitian didapatkan bahwa pada domba muda yang telah mencapai pubertas dan ovulasi, ketika dinaiki oleh jantan akan menjatuhkan diri dan tidak bisa dikawini, atau berdiri, siap untuk dinaiki dan dikawini, tetapi belum ovulasi (Tomaszewska et al., 1991). Musim kawin segera berhenti bila semua betina terpilih sudah kawin. Periode kawin berikutnya berkisar antara bulan Juni sampai Juli (Hoogerwerf, 1970 dalam Susanto, 1980). Pada penangkaran rusa di Oilsonbai Pulau Timor NTT musim kawin pada bulan Januari - Maret (Takandjandji, 1995), di Australia, antara bulan Juli sampai Agustus (Pearse, 1996; Dryden, 1999), sedangkan pada peternakan rusa di Queensland, perkawinan dapat terjadi hampir sepanjang bulan dalam musim kawin, yaitu antara bulan Januari – Maret dan Oktober – Desember dengan periode kawin utama antara Juni - September (Sinclair, 1998). Rusa Jawa yang dipelihara di NTT akan melahirkan pada bulan September (Takandjandji dan Sinaga, 1997), sedangkan di Australia, Rusa Jawa dan Rusa Maluku umumnya melahirkan pada musim panas (antara Desember - Februari)(Sinclair, 1998). Mengenai hubungan antara musim dengan perkawinan, Sinclair (1998) menyatakan bahwa pada anak jenis Rusa Jawa yang diternakkan di Queensland, Australia, yaitu Rusa Maluku dan Rusa Jawa, nampaknya tidak ada hubungan nyata antara musim dengan perkawinan. Perkawinan dan pemeliharaan anak () dapat terjadi sepanjang tahun. Pada jantan rusa Maluku, proses reproduksi dan pergantian ranggah tidak dipengaruhi oleh musim, dan betina dapat beranak sepanjang tahun. Sedangkan pada rusa Jawa, meskipun secara umum musim tidak mempengaruhi masa perkawinan, tetapi pada pengamatan di Queensland ternyata ada pengaruh yang nyata dari musim terhadap reproduksi dan pergantian ranggah. Pada rusa jantan, aktifitas seksual meningkat serta fertil bila ranggahnya sudah merupakan ranggah yang tetap/keras. Lamanya rusa mempunyai ranggah keras sangat beragam tergantung dari jenis rusanya, kisarannya antara 3,5 hingga 12 bulan, bahkan dalam jumlah sedikit dapat lebih dari 1 tahun (Semiadi, 1998). Bila ranggahnya masih merupakan ranggah yang muda (berbulu halus seperti beludru), atau pada saat ranggahnya belum tumbuh, aktifitas seksualnya terhenti dan bersikap seperti betina serta seringkali berkumpul dengan kelompok betina. Sedangkan rusa betina seringkali tetap subur sepanjang tahun. Selanjutnya, dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan lepasnya ranggah pada Rusa Jawa yang dipelihara di NTT, dinyatakan bahwa ranggah pertama kali tumbuh pada umur 7 - 9 bulan, musim ranggah lepas (gugur ranggah) dapat terjadi pada bulan Maret, Mei dan Oktober, dengan interval pengguguran ranggah satu tahun sekali dan masa pertumbuhan ranggah kembali satu bulan sesudah ranggah gugur (Takandjandji, 1995).

II. Tingkah Laku Seksual Rusa Jawa (Cervus timorensis) Di Penangkaran Rusa Cariu dan Ranca Upas

Di Cariu dan Ranca Upas, perkawinan dapat berlangsung sepanjang bulan dalam setahun. Walaupun demikian, di Cariu, musim kawin yang utama terjadi berlangsung antara bulan September sampai dengan Desember, sedangkan di Ranca Upas, perkawinan yang banyak terjadi adalah antara bulan September hingga Januari. Musim kawin utama .yang terjadi pada Rusa Jawa baik di Cariu ataupun di Ranca Upas rupanya berbeda dengan musim kawin pada Rusa Jawa di NTT yaitu antara bulan Januari hingga Maret seperti yang dilaporkan oleh Takandjandji (1993; 1995; 1996), Takandjandji dan Sinaga (1997), tetapi sesuai dengan musim kawin Rusa Jawa yang dipelihara di Quensland yaitu antara bulan Juni hingga September yang merupakan periode kawin utama (Sinclair, 1998). Perbedaan musim kawin utama antara Rusa Jawa di Cariu dan Ranca Upas dengan Rusa Jawa di NTT, disebabkan oleh fotoperiodik, musim dan manajemen pemeliharaan yang berbeda antara kedua tempat tersebut. Hewan akan memberikan respon terhadap perubahan fotoperiodik, dimana lamanya siang atau malam yang diterima mata dan syaraf pengelihatan akan mencapai kelenjar pineal (pineal gland). Kelenjar ini akan menghasilkan hormon melatonin, dalam keadaan gelap, kadar melatonin dalam darah akan meningkat hanya pada saat malam hari. Bila malam hari lebih panjang waktunya dengan waktu siang hari yang lebih pendek seperti pada negara yang mempunyai 4 musim, sekresi melatonin dalam jangka lama akan menstimulir sekresi hormon-hormon lain yang dikeluarkan oleh berbagai kelenjar, pada akhirnya akan mempunyai peran utama dalam meningkatkan kemampuan reproduksi antara hewan jantan dan betina. Musim kawin erat hubungannya dengan strategi hewan di alam untuk melahirkan anaknya pada bulan-bulan dimana saat itu banyak makanan, walaupun hal ini mungkin berbeda pada rusa yang dipelihara di penangkaran, dimana makanan akan selalu tesedia setiap waktu. Bila musim kawin utama di Cariu antara bulan September hingga Desember dan di Ranca Upas bulan September hingga Januari, maka kelahiran anak Rusa Jawa pada kedua tempat tersebut diharapkan banyak terjadi antara April hingga Juli di Cariu dan April hingga Agustus di Ranca Upas. Tetapi dalam kenyataannya, kelahiran dapat terjadi sepanjang bulan dalam setahun baik di Cariu maupun di Ranca Upas, hal ini terjadi karena pada rusa tropika seperti Rusa Jawa nampaknya musim tak begitu banyak berpengaruh terhadap waktu perkawinan sebagaimana halnya rusa dari daerah subtropis (Sinclair, 1998), tetapi fotoperiodik paling berpengaruh terhadap musim kawin rusa tropik. Selain itu, rupanya domestikasi pada rusa melalui penangkaran sedikit mempengaruhi strategi hewan seperti dalam habitat alaminya untuk selalu melahirkan pada keadaan yang menguntungkan bagi keturunannya, karena dengan usaha domestikasi pada rusa di penangkaran ini, ketersediaan pakan yang selalu tersedia sepanjang waktu, maka kemungkinan kekurangan pakan bagi anak yang dilahirkan akan berkurang. Hal ini menyebabkan anak rusa akan dapat dapat dilahirkan pada sepanjang waktu dalam setahun. Musim kawin, di tandai dengan banyaknya rusa jantan yang mempunyai ranggah keras, yang berpotensi untuk melakukan perkawinan, sedangkan rusa jantan yang mempunyai ranggah muda (ranggah yang masih berbulu halus), biasanya belum nampak keinginan untuk mengawini betina. Rusa yang ranggahnya telah lepas, umumnya tidak pernah berusaha untuk kawin. Walaupun demikian, pada rusa yang diteliti di Cariu ada seekor rusa yang pernah menjadi "raja" dengan ranggah yang keras, setelah ranggahnya lepas masih berusaha mendekati dan mengawini rusa betina lainnya. Hal ini terjadi pada rusa jantan yang umurnya sudah tua dan mempunyai badan yang lebih besar dibandingkan rusa jantan lainnya. Rusa jantan tersebut, walaupun ranggahnya lepas, seringkali tidak takut dengan rusa jantan lainnya, walaupun perkelahian dengan rusa jantan lainnya yang mempunyai ranggah keras selalu dihindarinya. Keinginan rusa jantan untuk kawin ditandai dengan menggosok-gosokkan ranggahnya yang keras ke semak-semak atau ke batang pohon, kemudian berendam pada kolam atau bak air yang terdapat dipenangkaran. Setelah itu akan berguling-guling dalam kolam air atau membuat lubang-lubang kecil di tanah dengan menggunakan tanduknya, yang akan dipakai untuk berguling-guling, yang berakibat bulu rusa menjadi kotor Rusa Jawa betina akan menanggapi peningkatan kegiatan seksual pejantan, dengan memberikan respon pada pejantan, serta kesediaannya untuk dikawini bila betina tersebut dalam keadaan berahi. Sekresi hormonal pada Rusa Fallow saat estrus sangat singkat, berkisar antara 15 menit - 24 jam tergantung pada kopulasi (Asher, 1992c). Keberadaan hormon saat estrus ini tergantung dari ovulasi, dimana estrus dan ovulasi berlangsung selama 24 jam, Kesuksesan pembuahan dan perkawinan tergantung pada pertemuan antara spermatosoa dan sel telur yang telah masak pada saluran reproduksi. Dari empat fase pada siklus berahi, biasanya fase proestrus dan estrus disebut dengan fase folikel, karena folikel tumbuh dengan cepat, sedangkan fase metestrus dan disestrus menjadi fase luteum, karena dalam fase ini, korpus luteum tumbuh dan berfungsi. Fase folikel umumnya berlangsung jauh lebih singkat bila dibandingkan dengan fase luteal. Pada fase folikel akan disekresikan estrogen, yang berfungsi mencegah produksi hormon FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan merangsang sekresi LH (Luteinizing Hormone), menambah vaskularisasi pada alat kelamin. Dalam otak, estrogen merangsang otak untuk menggerakkan seluruh tubuh dalam kegiatan berahi, termasuk perubahan tingkah laku betina, perubahan vaskularisasi alat kelamin betina yang ditandai oleh warna merah dan agak membengkak pada vagina dan kehendak untuk melakukan perkawinan dengan pejantan. Setelah kadar estrogen dalam darah mencapai ketinggian tertentu, maka terjadi efek positif terhadap produksi dan pelepasan LH dari hipofisa anterior. Dengan meningkatnya kadar LH dalam darah, maka akan terjadi ovulasi yang berupa pecahnya dinding folikel de Graf dan keluar ovum. Setelah folikel de Graf pecah, kadar estrogen turun dengan cepat dan mencapai kadar paling rendah, maka akan diikuti dengan semakin meningkatnya kadar FSH secara berangsur-angsur yang diperlukan ovarium untuk merangsang pertumbuhan folikel. Folikel yang tumbuh akan mempertinggi kadar estrogen secara berangsur. Setelah kadar estrogen mencapai ketinggian tertentu, maka terjadi rangsangan pada massa uterus untuk menghasilkan prostaglandin, peristiwa ini terjadi pada akhir fase disetrus. Prostaglandin akan menyebabkan korpus luteum berregresi dan produksi progestin menurun secara tajam. Dengan menurunnya kadar progesteron dalam darah maka estrogen menjadi dominan dan akan terjadi estrus kembali, hal ini merupakan siklus berahi. Siklus berahi pada Rusa Jawa di Cariu dan Ranca Upas berkisar antara 18 - 21 hari, sedangkan pada Fallow deer, sapi dan kambing 21 hari, pada Red deer dan domba 18 hari (Asher, 1992c). Rusa Jawa betina yang akan dikawini oleh pejantan adalah rusa betina yang masih muda, dewasa bahkan terhadap induk betina yang sedang bersama anaknya yang belum disapih. Tanda berahi pada rusa betina yang dipelihara di Cariu dan Ranca Upas tidak begitu jelas. Seringkali terlihat pada saat berahi, ada cairan berlendir berwarna putih yang keluar dari vagina, vagina agak membengkak dan berwarna kemerahan. Jantan yang akan mengawini adalah rusa jantan yang paling kuat, paling "berkuasa" dan yang mempunyai ranggah yang paling besar dan keras. Dalam kelompok rusa tersebut, rusa jantan yang paling kuat, paling keras dan besar ranggahnya akan menjadi pimpinan atau "raja", yang akan mempunyai kesempatan untuk mengawini betina-betina lainnya. Untuk menunjukkan dominansi pada jantan lain dalam kelompoknya, rusa jantan yang menjadi raja seringkali membawa semak-semak atau rumput pada ranggahnya. Rusa jantan yang mendekati betinanya akan diusir. Jadi pada musim kawin, jantan akan menjadi sangat agresif, baik terhadap rusa lainnya, maupun terhadap manusia. Dalam penelitian ini, baik di Cariu maupun di Ranca Upas ternyata rusa jantan mempunyai sifat Polygami, sesuai dengan pendapat Semiadi (1998) dan Giraldeau (1998), dan untuk itu, jantan tersebut akan berusaha mengawini betina-betina lainnya atau "harem". Dalam penelitian ini, seekor pejantan di Cariu mempunyai harem antara 6 - 7 ekor, sedangkan di Ranca Upas, antara 1 - 3 ekor. Dalam sehari seekor pejantan Rusa Jawa akan mengawini seekor betina dan maksimum dua ekor betina. Setelah itu pejantan tersebut akan mengawini betina yang berahi pada hari berikutnya. Di Cariu, pernah terjadi 5 ekor jantan yang mempunyai ranggah keras, berusaha mengawini seekor betina yang sama. Dalam penelitian di Cariu dan di Ranca Upas, perkawinan dapat terjadi sepanjang waktu pada siang hari dalam cuaca yang cerah maupun dalam keadaan hujan. Bila hujan sangat deras, pejantan yang akan mengawini betina biasanya berteduh, dan meneruskan usahanya untuk mengawini betina yang berahi setelah hujan tidak begitu deras. Khusus di Ranca Upas, pada saat udara berkabut tebal dengan suhu udara dibawah 160C, rusa pejantan jarang yang berusaha mengawini betina yang berahi, tetapi menunggu sampai udara lebih cerah dengan suhu udara yang lebih tinggi dan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan beristirahat. Ikatan perkawinan antara jantan dengan beberapa betina ini tidak tetap, yaitu bila pada musim kawin berikutnya, bila jantan yang lain yang menjadi "raja", maka yang akan mengawini betina-betina tersebut adalah jantan yang menjadi “raja” tersebut, bukan jantan yang terdahulu. Hal ini disebabkan, karena yang menjadi "raja" pada musim kawin saat ini, pada musim kawin tahun berikutnya tidak akan menjadi "raja" lagi, karena hampir setiap tahun ranggah jantan yang menjadi "raja" akan lepas dan akan diganti oleh jantan lain yang mempunyai ranggah keras dan besar yang akan menjadi "raja" menggantikan "raja" terdahulu yang akan mengawini betina-betina lainnya. Lamanya rusa jantan menjadi “raja” tidak tetap, tergantung dari persaingan diantara rusa jantan yang akan menjadi “raja”, dan lamanya “raja” memiliki ranggah yang keras. Begitu ranggahnya lepas, maka “raja” akan digantikan oleh rusa jantan lainnya yang mempunyai tubuh kuat dengan ranggah yang keras dan memenangkan persaingan untuk menjadi “raja” dengan rusa jantan lainnya. Persaingan di antara rusa jantan untuk menjadi “raja” dilakukan dengan perkelahian. Pada umumnya rusa jantan yang menjadi “raja” hanya berlangsung selama 5 – 6 bulan, kemudian akan digantikan oleh “raja” lainnya. Tingkah laku seksual pada Rusa Jawa dapat dibagi atas: a) tingkah laku seksual jantan, dan b) tingkah laku seksual betina. Tingkah laku seksual terdiri dari tingkah laku saat bercumbu (courtship), dan tingkah laku saat kawin (mating).

Tingkah laku seksual saat bercumbu.
Pada
pejantan, saat bercumbu diawali dengan usaha jantan yang selalu mengikuti betina yang akan dikawininya dan seringkali pejantan mengeluarkan suara yang keras (melenguh), kemudian menciumi/mengendus (sniffing) vagina dan daerah disekitar vagina, mendongakkan kepala ke atas dengan mengembang-kempiskan lubang hidungnya dan bibir atas dilipat ke atas dengan mulut sedikit terbuka (flehmen). Pada saat itu juga jantan akan berusaha menaiki betina dengan menekan bagian punggungnya. Biasanya betina tidak langsung mau dikawini, tetapi berusaha menghindar dan akan diikuti terus oleh rusa jantan tersebut. Sambil mengejar betina tersebut, jantan akan menciumi dan menjilati (licking) vagina dari bagian belakang serta bagian perut, kadang-kadang juga akan menjilati bekas air kencing (urine) betina, bila betina pada saat dikejar itu sempat kencing. Pada saat menciumi alat kelamin betina, lidahnya sering dikeluar masukkan menjilati alat kelamin betina. Jantan selalu berusaha menggiring betina untuk menghindar dari jantan lainnya. Usaha untuk mencumbu betina tersebut dapat berlangsung dari 5 - 12 jam, sampai betina dapat dikawini. Pada pejantan, tingkah laku mencium/mengendus (sniffing) dan menjilat (licking) merupakan pola tingkah laku seksual mencumbu yang paling sering dilakukan. Hal ini merupakan salah satu fungsi yang sangat penting sebagai komunikasi secara kimiawi (chemical communication) melalui indera penciuman (Alexander et al., 1980). Tingkah laku rusa betina dewasa pada saat bercumbu dengan rusa jantan, lebih banyak bersifat pasif, dalam arti membiarkan dicumbu oleh rusa jantan, dan hal ini hanya mungkin terjadi bila betina tersebut berada pada fase estrus. Walaupun demikian sering juga terjadi sebaliknya, yaitu yang mencumbu adalah rusa betina, dengan cara menggesek-gesekkan kepalanya pada leher rusa jantan, kemudian menjilati bulu jantan disekitar perut, bahkan disekitar scrotum dan penis jantan yang menyebabkan penis jantan menjadi tegang (ereksi). Ereksi pada rusa jantan ditandai dengan keluarnya gland penis dari preputium. Berdasarkan tipenya, maka penis rusa termasuk Fibroelastic, seperti pada sapi dan kambing (Alexander et al., 1980).

Tingkah laku seksual saat kawin (mating)

Perkawinan terjadi setelah proses mencumbu dan betina membiarkan dirinya untuk dinaiki pejantan. Pada pejantan, tingkah laku seksual saat kawin diawali dengan usaha untuk menaiki (mounting) rusa betina, yaitu dengan cara menaiki punggung betina dari arah samping dengan kaki depannya, dagunya diletakkan di atas punggung betina, kemudian intromission yaitu: punggung jantan melengkung ke bawah, pantatnya didorongkan ke arah lubang vagina dan penisnya dimasukkan ke dalam lubang vagina, dan akhirnya ejakulasi, yang berlangsung sangat singkat antara 2 - 3 detik. Waktu yang diperlukan dari mulai menaiki betina sampai terjadinya ejakulasi itu berlangsung antara 2 - 3 menit. Setelah ejakulasi, rusa jantan akan turun dari punggung betina, penis tidak ereksi kembali dan gland penis akan masuk ke dalam preputium. Segera setelah kawin, Rusa Jawa jantan dan betina berpindah tempat, dan betina seringkali tidak segera berkumpul dengan kelompok rusa lainnya. Betina sering kali berdiri tidak bergerak, punggungnya melengkung dan ekornya merunduk, kemudian sering membersihkan bagian vulva dengan menjilatinya. Menurut Asher (1992c) hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena rusa betina merasa kesakitan setelah kopulasi atau merupakan stimulus untuk menghentikan estrus. Pejantan setelah melakukan kopulasi seringkali nampak tidak menaruh perhatian terhadap betina yang baru dikawininya.
Pada
waktu kawin, dimana rusa betina pada tahap proestrus, pejantan seringkali beberapa kali berusaha menaiki betina (mounting), dan gland penis keluar dari preputium, dan usaha ini seringkali gagal.
Rusa betina siap untuk kawin (mating), setelah terangsang seksual (sexually aroused), Tingkah laku rusa betina pada saat kawin, yaitu dengan berdiri tegak, bagian belakang pantat agak direndahkan, dan membiarkan dirinya dinaiki oleh pejantan.
Dalam penelitian di Cariu, dari jam 06.00 - 18.00, dalam waktu 3 jam seekor jantan Rusa Jawa berusaha menaiki betina sebanyak 5 kali atau 25 % waktunya dalam sehari tersebut digunakan untuk mengawini betina. Sedangkan di Ranca Upas, dalam waktu 12 jam, selama 5 jam atau hampir 42% waktunya dalam sehari digunakan untuk mengawini betina. Dan dalam jangka waktu 5 jam tersebut, rusa jantan yang menjadi "raja" berusaha menaiki seekor betina untuk dikawini sebanyak 41 kali. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat itu betina masih pada tahap proestrus atau mungkin juga sudah berada pada tahap metesterus. Banyaknya kopulasi yang terjadi pada Rusa Jawa jantan di Ranca Upas mirip dengan banyaknya kopulasi yang dilakukan sapi jantan dan mencapai 80 kali dalam 24 jam, atau 60 kali dalam 6 jam atau rata-rata 21 kali sebelum hewan tersebut kelelahan (Alexander et al., 1980), sedangkan pada Fallow deer, 8 - 31 kali, dengan interval waktu antara pertama kali naik sampai kopulasi berhasil antara 4 - 50 menit. (Asher, 1992c). Lamanya waktu yang diperlukan oleh rusa pejantan untuk mengawini betina sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Golz (1993), yang menyatakan bahwa pada saat musim kawin, jantan akan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kawin dibandingkan dengan kegiatan lainnya seperti makan, yang mengakibatkan berat badan rusa jantan berkurang sebesar 30%. Bila ada jantan lain yang berusaha mendekati betina tersebut atau kebetulan berada di dekat betina itu, maka akan diusir oleh jantan yang akan mengawini betina tersebut dengan menggunakan ranggahnya. Di Ranca Upas, seringkali terjadi, bila betina merasa lelah dan merebahkan tubuhnya, maka jantan seringkali mendorong dan menggigit rusa betina tersebut untuk segera berdiri, sedangkan di Cariu, hal ini jarang terjadi. Berdasarkan pengamatan di Ranca Upas, ternyata seringkali jantan yang menjadi "raja" dalam mengejar betina yang akan dikawini mempunyai tingkah laku yang "lebih kasar" dibandingkan dengan jantan yang menjadi "raja" di Cariu. Hal ini terlihat karena pada saat dikejar untuk dikawini, jantan "raja" di Ranca Upas sering kali berlari lebih cepat sehingga betina yang dikejarnya sering kali terjatuh karena berlari lebih cepat, juga disebabkan karena pedok di Ranca Upas tidak rata atau bergelombang dan terdiri dari tanah rawa-rawa. Sedangkan pedok di Cariu, walaupun topografi tidak rata, tetapi keadaannya relatif lebih baik dibandingkan dengan pedok di Ranca Upas, karena tanahnya tidak terdiri dari rawa-rawa, yang dapat menghambat pergerakan rusa... Perkawinan dapat terjadi pada setiap saat, baik pagi, siang ataupun malam. Setelah kawin, rusa jantan yang menjadi "raja" akan mengawini betina yang berahi lainnya.
Dalam penelitian ini juga diketahui, bahwa rusa betina yang masih muda dan dalam keadaan berahi, umumnya masih agak "takut" untuk dikawini oleh jantan "raja". Hal ini dapat terlihat, pada saat jantan berusaha mendekat untuk mengawininya, rusa yang masih muda umumnya seringkali berlari lebih cepat sambil menutupi vaginanya dengan ekornya, bahkan seringkali merebahkan dirinya ketanah untuk kemudian oleh jantan akan didorong untuk bangun. Sedangkan pada rusa betina yang telah dewasa dan telah pernah beranak, umumnya lebih "tenang" menghadapi jantan dan lebih siap untuk dikawini. Sifat ini rupanya hampir mirip dengan sifat pada domba betina muda, yang mempunyai pola kurang sempurna pada respon perkawinan dan tidak mencari jantan. Beberapa domba betina muda yang telah mencapai pubertas dan ovulasi, ketika akan dinaiki oleh jantan menjatuhkan diri dan tidak bisa dikawini (Tomaszewska et al., 1991), dan ini pula merupakan pengaruh dari pengalaman kawin, dimana kesuksesan dari suatu perkawinan (kopulasi) baik pada jantan maupun betina dapat ditingkatkan oleh pengalamannya untuk melakukan perkawinan (Alexander et al., 1980).
Dalam penelitian di Cariu, didapati juga bahwa perkawinan dapat terjadi antara beberapa pasangan rusa jantan dan betina. Hal ini bisa terjadi bila jantan yang menjadi pimpinan atau "raja" sedang sibuk mengejar betina yang akan dikawini, maka jantan lain juga berusaha mengawini betina yang lainnya. Pada saat jantan berusaha mengejar betina yang akan dikawini, seringkali rusa betina masuk ke dalam kelompok rusa lainnya, dan akan menyebabkan kelompok rusa tersebut menjadi bercerai-berai. Hal ini akan mengganggu ketenangan rusa lainnya, dimana pada saat itu rusa sedang makan atau sedang beristirahat.
Di Ranca Upas pada saat penelitian ini hanya terdapat seekor jantan yang menjadi "raja", sedangkan di Cariu terdapat dua ekor "raja". "Raja" yang pertama adalah seekor Rusa Jawa jantan, sedangkan "raja" yang lainnya adalah seekor Rusa Totol jantan. Keduanya mempunyai ranggah yang hampir sama besar dan ukurannya. Antara kedua "raja" tersebut pada saat penelitian tidak pernah terlihat adanya tingkah laku saling menyerang (Agonistic behaviour).
Bila ke dua "raja" tersebut saling bertemu, salah satu diantara akan menghindar. Hal ini kemungkinan terjadi karena kedua "raja" tersebut mempunyai tingkat dominansi yang sama, dengan jumlah betina yang mempunyai potensi untuk dapat dikawini sebagai "harem" relatif cukup yang dapat dilihat dari imbangan kelamin (Sex ratio) antara jantan dewasa yang mempunyai ranggah keras dan betina dewasa sebagai 6 : 38 atau 1: 6. Apalagi Rusa Jawa sebagai rusa tropika kecenderungan untuk mengumpulkan harem tidak terlalu kuat seperti pada rusa yang berasal dari daerah dingin (Semiadi, 1998). Tidak seperti di Cariu, kadang-kadang terjadi beberapa pasangan rusa mengadakan perkawinan, maka di Ranca Upas karena jumlah rusa yang dipelihara relatif sedikit bila dibandingkan dengan di Cariu, sehingga tidak terdapat adanya kelompok pasangan yang melakukan perkawinan. Memang dapat terjadi pada saat rusa yang menjadi "raja" akan mengawini betina yang berahi, maka jantan lainnya yang mempunyai ranggah keras, juga ingin mengawini betina berahi lainnya. Tetapi bila hal ini terjadi, maka "raja" akan mengusir dan menyerang jantan lain yang akan mengganggu "harem"nya.

Beberapa kelainan tingkah laku seksual yang didapati pada penangkaran rusa di Cariu adalah adanya tingkah laku Lesbian dan Homoseksual. Kelainan seksual ini disebabkan oleh faktor genetis, gangguan kelenjar endokrin atau sistem syaraf dapat juga disebabkan oleh kesalahan manajemen pemeliharaan. Pada Lesbianisme, rusa betina berusaha menaiki rusa betina lainnya. Tetapi kejadian ini hanya berlangsung singkat yaitu sekitar 0,3 -0,5 menit saja. Demikian juga halnya dengan sifat Homoseksual, yang terjadi antara rusa jantan dengan rusa jantan lainnya, biasanya terjadi pada rusa jantan yang mempunyai ranggah keras. Sifat homoseksual dan sifat lesbian dalam penelitian ini, dapat terjadi pada rusa yang dewasa atau pada yang muda.. Dibandingkan dengan di Cariu, maka di Ranca Upas lebih sering terjadi homoseksual. Di Ranca Upas, dari 7 ekor jantan dewasa dan 2 ekor jantan muda yang mempunyai ranggah keras, sebanyak 3 ekor yaitu 2 ekor jantan dewasa dan seekor jantan muda, atau 30% terlihat homoseksual. Sedangkan di Cariu dari 9 ekor Rusa Jawa jantan dewasa, dan 5 ekor jantan muda, yang mempunyai rangga keras sebanyak 6 ekor, yaitu 4 ekor jantan dewasa dan 2 ekor jantan muda, yang terlihat melakukan homoseksual hanya seekor atau sekitar 16,67%. Banyaknya homoseksual pada rusa di Ranca Upas dibandingkan dengan di Cariu, antara lain disebabkan karena rasio antara rusa jantan dewasa yang mempunyai ranggah keras dengan betina dewasa di Ranca Upas 9 : 8 atau sekitar 1 : 1. Sedangkan di Cariu, rasio antara rusa jantan yang mempunyai ranggah keras dan mempunyai potensi untuk mengawini betina dibandingkan dengan rusa betina dewasa adalah 6 : 38 atau sekitar 1 : 6. Padahal di antara rusa jantan yang mempunyai ranggah keras tersebut hanya ada seekor jantan saja yang akan menjadi "pimpinan" atau "raja" dan akan mengawini betina-betina lainnya yang sedang berahi. Sehingga bagi rusa jantan yang mempunyai ranggah keras lainnya dan subordinat terpaksa menyalurkan libido sexualnya dengan rusa jantan lainnya atau melakukan kegiatan homoseksual. Homoseksual biasanya dilakukan antara rusa jantan dewasa mempunyai ranggah lebih besar dengan rusa jantan mempunyai ranggah keras lainnya yang lebih muda. Tetapi jarang terjadi antara rusa mempunyai ranggah keras dengan rusa jantan yang mempunyai ranggah muda. Hal ini disebabkan karena rusa jantan yang mempunyai ranggah muda, seringkali tidak mau berkumpul dengan jantan mempunyai ranggah keras pada musim kawin, karena rusa jantan dengan ranggah muda takut ranggahnya menjadi terluka atau patah, atau mungkin juga karena libido seksualnya sudah berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Tingkah laku homoseksual pada rusa jantan berbeda dengan perkawinan heteroseksual, karena rusa jantan yang bertindak sebagai "jantan", biasanya tidak menciumi alat kelamin rusa jantan yang akan berfungsi sebagai "betina", juga tidak memperlihatkan respon flehmen tetapi, secara langsung mendekati jantan yang akan berfungsi sebagai "betina", dan langsung menaiki bagian belakangnya dengan kepala melambung ke belakang seperti pada kambing saat memasukkan penisnya. Tetapi hal ini jarang terjadi, yang sering terjadi adalah pada saat menaiki rusa jantan lainnya, dalam waktu antara 1 - 2 detik, rusa jantan yang dinaiki tersebut berhenti sejenak, kemudian berlari. Setelah itu rusa jantan yang menaiki rusa jantan lain dan berfungsi sebagai "betina" tersebut tidak berusaha mengejarnya. Adanya tingkah laku homoseksual pada rusa jantan sesuai dengan pendapat Fullerby (1999) yang menyatakan bahwa hampir 20% rusa jantan adalah homoseksual, serta homoseksual pada hewan, terutama banyak terjadi pada kelompok hewan yang mempunyai sifat perkawinan polygami. Homoseksual pada rusa ini juga dapat terjadi karena pada rusa muda yang mencapai dewasa kelamin (pubertas), dikumpulkan bersama dengan rusa lain yang mempunyai jenis kelamin sama. Pada penelitian ini, sifat lesbian hanya terdapat pada Rusa Jawa di Cariu, dan tidak terdapat pada rusa di Ranca Upas. Di Cariu sifat lesbian hanya terdapat pada dua ekor rusa betina dewasa saja. Lesbian sebagai mana halnya dengan homoseksual, biasanya tidak berlangsung secara permanen. Pada lesbian, betina yang akan berfungsi sebagai "jantan" tidak berusaha mengejar betina tetapi biasanya di awali dengan menciumi vagina rusa betina lainnya, kemudian dengan gerakan cepat, "jantan" akan menaikkan ke dua kakinya diatas pangkal paha belakang betina, kepala ditekankan pada punggung betina. Bila betina bersedia untuk dikawini, betina akan memberikan respon dengan berdiri diam dan ekor digerak-gerakkan, sedangkan "jantan" tetap akan menekankan kepalanya pada punggung betina, dan ekornya digerakkan ke bawah menutupi alat kelaminnya. Kejadian ini berlangsung cepat sekitar 4 - 10 detik. Setelah itu, dengan cepat pula rusa betina yang dinaiki akan berlari, tetapi tanpa dikejar oleh betina yang menjadi "jantan" tadi. Tetapi bila betina yang akan dikawini oleh betina yang befungsi sebagai "jantan" tidak mau dikawini, maka betina akan segera lari sehingga perkawinan antara pasangan lesbian tersebut tidak terjadi. Dalam penelitian ini, sifat homoseksual serta lesbian pada rusa yang diteliti, ternyata bukan merupakan sifat yang permanen, sebab rusa yang melakukan kegiatan itu ternyata dapat melakukan perkawinan dengan pasangan heteroseksual lainnya. Sifat homoseksual dan sifat lesbian ini terjadi karena situasional, yaitu pada saat jantan atau betina akan kawin, tidak adanya lawan jenis yang siap sebagai pasangannya. Pada rusa, tingkat dominansi dimiliki oleh rusa jantan, artinya jantan akan mendominasi betina dalam proses perkawinan, (Lindsay dan Fletcher, 1972 dalam Tomaszweska et al., 1991). juga terdapat pula urutan dominasi, maksudnya ialah bila terdapat jantan subordinat yang berahi, tidak akan dapat mengawini betina yang sedang berahi, karena akan diusir atau dihalang-halangi oleh jantan dominan. Akibatnya jantan subordinat yang berahi terpaksa mencari "pelampiasan" untuk menyalurkan nafsu libidonya pada jantan lainnya. Hal ini terjadi juga pada rusa betina.